Satu kata yang identik dengan budaya Indonesia. Kembali ke rumah, bersua bersama keluarga, kembali ke tempat penyimpanan segundang kenangan, tempat yang menjanjikan perasaan nyaman, hangat dan aman. Bagi sebagian orang memang Pulang menjadi aktivitas biasa, rutinitas belaka. Namun bagi beberapa orang, Pulang adalah kegiatan sakral. Mungkin karena terpisahkan jarak di tanah perantauan atau satu dua hal lain yang membuatnya sangat istimewa.
Begitu pula bagi tokoh utama buku ini. Rupanya tidak semudah itu melakukan aktivitas pulang bagi Dimas Suryo dan putrinya, Lintang Utara. Bagi Dimas, pulang berarti bertemu dengan rumah yang dirindukan, dengan wanita yang dicintai, dengan negara porak poranda yang membuang dia ke negeri antah berantah. Pulang merupakan hadiah yang sulit didapat, karena keadaan politik tanah air tidak memungkinkan baginya.
Bagi Lintang pulang berarti mempersiapkan diri menghadapi kisah sang ayah tentang sejarah tanah leluhurnya. Lintang yang “dipaksa” untuk pulang justru pada awalnya menolak, memberontak karena menganggap tanah air menyimpan masa lalu suram ayahnya, menyimpan alasan mengapa ayah dan ibunya bercerai, alasan mengapa dia merasa tidak pernah mengenal ayahnya. Lintang menolak mencari tahu tentang akarnya. Sampai kemudian dia dihadapkan pada situasi yang membuatnya berpikir “bagaimana semua ini terjadi sampai ayah dan aku jadi seperti sekarang? Apa yang sebenarnya terjadi pada ”akar”ku?” Akhirnya Lintang memutuskan pergi ke Indonesia, kebetulan di saat negeri itu (lagi-lagi) diancam tragedi. Setelah mengenal Indonesia, manakah negara yang merupakan rumah baginya? Yang membuatnya merasa bisa pulang?
Lalu ada pula Rama, seorang pemuda yang merasa menjadi “korban” ketidakadilan rezim orde baru yang membuatnya merasa harus menanggalkan nama keluarganya hanya agar diterima oleh masyarakat. Ada juga si cassanova Alam, anak seorang tapol yang cerdas, idealis, kritis tapi sinis dan skeptis terhadap pemerintahan pada masa itu.
Ini bukan cerita sejarah. Ini adalah cerita tentang bagaimana sejarah berdampak pada manusia, dan bagaimana setiap manusia itu menyikapinya.
Saya bukan orang dengan kemampuan otak prima, juga bukan orang yang punya lingkar otak besar, dan sialnya bukan juga orang yang paham sejarah sampai detailnya (baca: 75% buta soal politik pre-orde baru). Ya, saya tau tentang gerakan 30 September, sejarah yang dipelajari berulang-ulang di bangku sekolah. Ketika belajar tentang PKI di bangku SMP-SMA, saya masih lugu dan polos, bacaan masih di lingkaran teenlit remaja picisan, ditambah hasil didikan serial Power Ranger yang mendarah daging, yang membuat saya merasa wajib mendukung pihak yang baik dalam kasus apapun, dan dalam kasus ini pemahaman saya mentok di pertanyaan hitam putih khas bocah-lima-tahun; “di peristiwa itu, siapa yang jahat siapa yang baik?”. Karena politik Indonesia lebih kompleks dari sekedar siapa-yang-jahat-siapa-yang-baik, maka kemajuan pengetahuan sejarah saya berhenti sampai di titik 30-September-1968-terjadi-penculikan-para-jendral-lalu-PKI-ditumpas-habis-kemudian-Soeharto-jadi-presiden-selama-32-tahun. Selesai. Tamat. Kesimpulannya: SAYA CACAT SEJARAH.
Dengan mengarungi kisah fiktif kehidupan Dimas Suryo dan Lintang Utara, saya bisa melihat dan merasakan kehidupan warga Indonesia yang penuh dengan rasa takut dan ketidakpastian pada era tersebut. Melihat sejarah bangsa melalui kacamata karya sastra. Kontras jauh dari sejarah yang ditulis (baca: ditulis ulang) oleh pemerintah orde baru yang kemudian dijadikan doktrin melalui buku-buku pelajaran sejarah. Melihat ulang sejarah G30S dari kacamata warga sipil. Peristiwa ini bukan hanya satu sejarah kelam politik Indonesia, tetapi juga menancapkan erat memoria pada ingatan para korban dan keluarganya.
Terlepas dari bagaimana Pulang membantu saya membetulkan kacamata saya melihat tragedi 1965, Kurang lengkap rasanya jika tidak menuliskan review apa yang disuka dan apa yang tidak disuka dari novel Pulang setelah membacanya. Ibarat setelah makan tidak memberikan komentar pada hidangan yang disantap. Begitu juga nonton bola tanpa komentator. Tidak afdhol katanya.
/1/
Meskipun settingnya adalah tempat-tempat yang antah berantah (baca: luar negeri, yang biasanya saya memang tak pernah suka dengan penulis Indonesia yang menggunakan setting luar negeri. “Memang di Indonesia nggak ada setting tempat yang bagus ya? Indonesia ini kaya loh”), lokasi-lokasi yang belum pernah saya kunjungi sama sekali, tapi saya tidak merasa kesulitan membacanya. Mengikuti alur emosinya sampai akhir cerita.
Entahlah, meski sebagian besar bersetting Paris, di Rue de Vaugirard, namun tokoh-tokohnya dan juga kisahnya sangat membumi. Tak mengawang-awang. Sehingga Pulang, bisa dibaca oleh siapa saja. Tak perlu oleh para maniak sastra. Kurasa, Leila benar-benar mampu menjadikan sastranya sangat membumi tanpa kehilangan kecerdasannya.
/2/
Referensinya sungguh kaya. Berbagai buku dibahas: Mulai dari Le Petit (yang sampai sekarang saya belum tahu menariknya di mana), sampai buku-buku karangan Hugo, Wilde, James Joyce, Lord Byron, John Keats, TS Eliot, Rivai Apin, William Shakespeare, Walt Whitman. Sampai penulis-penulis Indonesia macam Chairil Anwar, Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Mohamad, Pramoedya Ananta Toer, WS Rendra hingga kisah perwayangan nusantara.
Sembari membaca Pulang, saya sengaja mencatat nama-nama sastrawan yang disebutkan dan yang karyanya dikutip oleh tokoh-tokoh di dalamnya. Saya menyadari bahwa ensiklopedia saya sebagai alumnus mahasiswa sastra sangatlah minim, dangkal. Tapi tidak apa-apa. Belajar tidak ada waktu kadaluarsanya. Kembali ke topik, saya pikir, penyebutan sejumlah nama serta serangkaian pengutipan itu bisa berarti dua hal. Satu, Mbak Leila bermaksud menempatkan sastrawan-sastrawan Indonesia dalam posisi yang sejajar dengan sastrawan-sastrawan dunia: karya-karya mereka sama dibaca, sama bermutu, dan sama layak direnungkan. Dua, beliau hanya ingin tokoh-tokohnya tampak cerdas dan luas bacaannya.
/3/
Sebagaimana tak pernah ada kehidupan manusia yang luput dari kisah asmara, maka tidak pula sebuah novel (apalagi yang bercorak realisme) mengabaikan aspek romansa. Memangnya siapa yang betah membaca novel setebal hampir 600 halaman yang tak ada kisah cintanya? Barangkali ada, tetapi jelas bukan saya. Saya menyukai kisah cinta. Dengan satu syarat: bukan roman picisan.
Kebetulan, ada banyak kisah cinta dalam Pulang. Menurut saya, yang terbaik adalah antara Dimas Suryo dan Surti Anandari. Di luar perkara putusnya hubungan pacar-pacaran mereka sewaktu remaja yang agak norak itu—karena Surti menginginkan kepastian yang tak bisa diberikan Dimas, dia berpaling ke pelukan Hananto Prawiro si tetangga—cinta yang mengikat keduanya selama puluhan tahun kemudian nyaris sedahsyat cinta Romeo dan Juliet, Laila dan Majnun, Cleopatra dan Mark Antony, Odysseus and Penelope, atau Ekalaya dan Dewi Anggraini.
Dan yang saya anggap paling menye-menye adalah kisah Lintang Utara dan Segara Alam. Leila memang menjadikan le coup de foudre, alias cinta pada pandangan pertama, sebagai trik untuk menyingkat proses yang agak berbelit dan makan waktu untuk menceritakan sepasang manusia yang saling jatuh hati. Namun le coup de foudre itu sendiri dialami oleh Bapaknya, Dimas-Vivienne, tapi kisah cinta mereka tetap terasa indah dan tidak terkesan picisan. Saya bisa memaklumi perasaan “ingin menyembuhkan” milik Vivienne sejak pertama kalinya dia melihat mata Dimas yang sarat kehilangan dan kesedihan. Tapi apa yang dilihat Lintang dari Alam? Laki-laki begajul yang pemikirannya tidak menarik, agak lihai omon-omon, sekaligus tukang kelahi penuh ide-ide heroik? Bukankah Narayana, kekasihnya di Perancis sana, lebih unggul dalam banyak hal?
/4/
Sebetulnya masih ada beberapa hal yang menarik dan yang tidak menarik dari Pulang. Yang menarik, misalnya, adalah cerita kematian Dimas Suryo di penghujung buku. Mulai dari surat untuk putrinya, Lintang, hingga adegan di pemakaman yang membikin saya menangis. Yang tak menarik, misalnya, peng-kotak-kotakan yang agak kelewatan antara para protagonis dan antagonis. Pembedaan itu, saya kira, terlalu hitam-putih, seakan-akan manusia hanya terdiri dari satu sisi saja: baik atau buruk.
Parahnya lagi, pemisahan dua kubu ini tak hanya terjadi pada kepribadian dan sikap para tokoh semata, melainkan sampai meluber ke luar, ke penggambaran fisik. Adakah tokoh protagonis dalam Pulang yang wajahnya jelek dan otaknya kurang sekian gram? Tidak ada. Semua tampan atau jelita sekaligus cerdas gilang-gemilang. Kebalikannya, tokoh-tokoh antagonis nyaris semuanya buruk rupa dan kurang sehat pikirannya. Ada tentara pemberang yang mukanya legam macam aspal, ada tukang rebut istri orang yang hobi menyundut anak tirinya dengan rokok, ada intel-intel bengak, ada putra pejabat yang imbisil, dan ada pula informan pemerintah yang serba menjijikkan.
Bukan saya hendak bersimpati pada tokoh-tokoh antagonis tersebut, hanya saja, menampilkan mereka sebagai manusia yang cuma gelap adanya justru menjadikan penokohan Pulang seperti penokohan sinetron. Tokoh informan yang dijuluki “si telunjuk” itu, misalnya, kenapa tak diberikan suara walau sedikit? Toh dari penuturan Dimas kita tahu, dia menjadi seorang pengkhianat karena tak tahan mengalami siksaan militer yang maha keji. Jika saja Leila mau memberikan sedikit ruang kepada “si telunjuk” yang malang itu untuk bercerita, saya pikir, akan ada tambahan efek yang signifikan bagi pembaca dalam memahami cara-cara kerja militer Indonesia di masa itu. Dan tentu saja, karya sastra yang baik biasanya tak memandang persoalan secara hitam-putih.
/closing/
Meskipun buku ini sarat dengan muatan politik, tetapi buku ini juga mengeksplorasi keindahan sastra, dan tanpa melupakan sentimentalitas dari romantika anak muda di kota Paris.Terima kasih Leila S. Chudori, buku anda yang saya baca setelah laut Bercerita, sama-sama begitu menyentakkan hati. Melalui tulisan ini, saya harap bisa menularkan pengalaman menyenangkan bersama Dimas Suryo dkk kepada teman-teman lain.
Komentar
Posting Komentar