Unpopular Opinion: Betapa “1 Kakak 7 Ponakan” dan “Home Sweet Loan” Jadi Film yang Terlalu Kapital
Menonton 1 Kakak 7 Ponakan usai menggayam Home Sweet Loan adalah kebetulan yang baik.
Dua film yang membawa nuansa khas keluarga Indonesia itu terasa relate bagi mereka yang besar dari keluarga middle class worker.
Saya tak menyebut kedua film itu kapital karena Indonesia sedang didera middle income trap. Hanya saja, in this economy, kelas menengah adalah ceruk pasar yang lagi digodok sineas lantaran jadi pasar empuk di Indonesia.
Meski demikian, film yang dengan begitu adalah karya seni, dalam pandangan Marx adalah “komoditas ajaib” (peculiar commodity). Di era kapitalisme yang kian nyeni ini, ada pengalaman seni yang tak tertolak, ihwal standar penilaian yang bertaut dengan kondisi sosial yang happening di Indonesia.
Film kadung besar dari persepsi sebagai wahana cerminan masa kini yang relevan. Khususnya film-film di Indonesia yang, secara industri berkembang untuk menceritakan masa kini (being present).
Hingga, per “1 Kakak 7 Ponakan” dirilis, kapital tercipta dengan tanpa memandang batas umur tertentu. Saya melihat sendiri di bioskop, penonton datang dari beragam latar belakang dengan rentang usia yang beragam pula.
Baik, sebenarnya ini terlalu jauh. Dalam tulisan ini saya hanya pengin menceritakan secara ringkas dua film bertema keluarga khas Indonesia tersebut. Rumah dengan seribu pintu, seribu penghuni, seribu masalah, dan seribu aduan yang tak terhitung “yang berasal dari luar rumah”.
Maka jamak orang bijak menyarankan, “jangan bawa kerjaan ke rumah!”
Ada benang merah tebal sekali yang menjadi pokok pikiran dari dua film tersebut. Selain konsep atau pengalaman Kaluna dan Moko sebagai “Sandwich Generation” yang, tidak akan saya komentari dalam tulisan ini. Seperti yang sudah saya ulang-ulang di atas, benang merah tersebut adalah keluarga beserta jaringan sosial yang tak cukup terbentuk (unstructured).
Isi Film: Sebuah Otokritik dan Ambiguitas
Patut diamini bahwasannya potret yang dijelaskan kedua film tersebut sebenarnya mengerucut pada gambaran keluarga kelas menengah konservatif.
Argumen ini berdasar pada sikap konstan dari tokoh antagonis yang gemar bermain intrik. Kanendra dan Eka adalah dua figur tokoh tersebut. Dua kakak problem maker yang sebenarnya ditaruh sebagai otokritik terhadap dua keluarga Kaluna (Home Sweet Loan) dan Moko (1 Kakak 7 Ponakan).
Di samping itu, ada kesalahan fatal yang menurutku perlu diurai lebih jauh perihal problem solving yang ambigu. Kaluna memilih resign dan Moko yang “ngga enakan” itu tak bisa banyak bertindak kala diterpah bias opini dari adik-adiknya. Ya, minimnya kemampuan untuk making decision, yang belakang cukup populer diarusutamakan oleh Cania Citta.
Lalu muncul Dana (Home Sweet Loan) dan Maurin (1 Kakak 7 Ponakan) yang jadi cerminan kelas menengah terdidik serta mapan (upper middle class). Seolah dihadirkan sebagai hero tapi justru perannya lebih tebal sebagai pahlawan di siang bolong. Dana dan Maurin mengambil peran terlalu besar dalam proses penyelesaian masalah si tokoh utama. Imbasnya, tidak ada perkembangan karakter yang kentara karena locus of control dari protagonis terlalu digantungkan kepada pemeran pembantu.
Selebihnya, film tersebut diisi dengan selubung struktural pendidikan, gaji, bpjs, dan lain-lain yang, sayangnya tak menjadi medium kritik, malah terkesan sebagai parodi hidup di negara yang konon menjadi penghasil nikel terbesar di dunia dan akan mencapai masa emas 2045. Naas.
Pelajaran Penting
Apa lagi kalau bukan lesson learned yang bisa diambil dari sebuah film Indonesia yang notabene menjadi negara yang sarat akan filosofi-filosofi bijak dalam setiap unsur budayanya.
Kalau ngga bisa ambil untung ya ambil saja hikmahnya.
Keluarga adalah basis utama seorang manusia dibentuk. Putaran informasi, keahlian komunikasi, ketangkasan menyelesaikan masalah, dan kasih sayang bermula dari rumah kecil bernama keluarga.
Sebagaimana rumah, pendidikan dasar di keluarga adalah pondasi penting yang membuat tiang-tiang lama maupun baru berdiri tegak menyangga kemaslahatan bagi setiap yang bersemayam di bawah atap.
Maka, mendidik dengan baik anak-anak dengan mempertimbangkan masa depannya merupakan praktik hidup yang mau tidak mau memiliki porsi perhatian yang lebih, khususnya mengajari mereka berkomunikasi terhadap setiap masalah barang sekecil pun.
Masya Allah. Tulisannya keren sekali kak. Mantaab
BalasHapus