Mengenal "Eksistensialisme" Sembari Mendefinisikan Ulang Diri
Bagi saya pribadi, teori filsafat Eksistensialisme yang dikemukakan Jean-Paul Sartre telah menginspirasi banyak pandangan, iman, dan prinsip saya tentang kehidupan — utamanya tentang menjadi manusia yang menjalani hidup.
Apa yang menyentak pikiran saya sebenarnya adalah sebuah analogi sederhana tentang konsep Eksistensialisme, yang bisa dibilang juga sebagai pintu masuk bagi ajaran-ajaran Sartre yang lebih kompleks lagi. Dalam teorinya itu ia membandingkan sebuah gunting dengan seorang manusia, di mana perbedaan keduanya didasari pada 2 nilai, yaitu: Eksistensi dan Esensi.
Eksistensi mewakili bentuk, rupa, gagasan, spesifikasi, atau sifat-sifat alamiah yang menempel pada suatu objek. Sedangkan Esensi mewakili fungsi, manfaat, atau definisi yang menentukan identitas sebuah objek.
Gunting, dalam proses kelahirannya, diawali oleh sebuah gagasan di kepala manusia tentang alat yang dapat memotong kertas, atau tali, atau benda lain secara praktis. Dalam gagasan itu juga terbit kebutuhan tentang bagaimana gunting ini bisa dikendalikan oleh tangan, bahkan hanya dengan 2 jari saja. Maka konsep tentang gunting sudah terdefinisikan, fungsinya sudah ditetapkan, dan wujudnya sudah digambarkan bahkan sebelum nama "gunting" muncul. Di sini berarti "esensi mendahului eksistensi", di mana fungsinya dulu ditentukan baru kemudian bentuknya muncul.
Sedangkan manusia punya proses yang berkebalikan. Manusia tidak bisa ditentukan fungsi dan nilainya ketika mereka dilahirkan. Tidak ada yang bisa menentukan bahwa seorang bayi kelak harus menjadi dokter, penyair, filsuf, atau apapun selain dari bayi itu sendiri. Di sini "eksistensi mendahului esensi" — artinya setiap manusia punya tanggung jawab penuh untuk menetukan nilai, manfaat, atau fungsi mereka dalam kehidupan. Sehingga bagi saya tugas setiap manusia adalah untuk terus mendefinisikan esensi mereka baik dalam perbuatan atau pemikiran di setiap hari yang dilewati. Sekilas mungkin terdengar seperti kehendak bebas, tapi di balik itu ada keresahan dan kebutuhan manusia untuk mengaktualisasikan dirinya secara positif bagi kehidupan.
Teori Sartre ini memberi saya pencerahan bahwa pertama, filsafat itu penting, dan kedua, kehidupan ternyata jauh lebih penting. Ia membisiki saya bahwa dalam hidup ini manusia tidak cukup hanya sekadar "mengalami" tetapi juga harus bisa "menjadi".
Komentar
Posting Komentar