Tell Me How to Fall in Loveđź–¤
Saya sedang membaca novel Perfume karya Patrick Suskind saat laki-laki itu mendekat, mengucapkan bahwa selera baca saya bagus. Ucapannya terdengar tulus, kalimatnya disusun seolah ia sedang mengeluarkan madu dan marzipan dari sisi mulutnya—seolah ia sedang menyenandungkan nada-nada. Saat ia mengucapkan itu, saya menahan senyuman, menggigit pipi bagian dalam untuk mencegah diri saya nampak seperti orang tolol. Namun, akhirnya saya tetap mengucapkan terima kasih dengan nada pelan.
Beberapa orang memuji karya handlettering saya, sisanya memuji cara saya berpakaian di momen-momen tertentu, tetapi sangat jarang ada orang yang memuji selera buku saya saat itu. Ia adalah orang pertama, dan barangkali itu adalah awal mulanya. Saya pikir, saya telah jatuh cinta.
Dalam waktu sekejap, anak laki-laki itu sekonyong-konyongnya menjadi pusat semesta saya. Saat saya menemukan presensinya, dunia seakan mengikuti plot cerita Lady in Disguise, diiringi alunan suara Ilene Woods dengan so this is love-nya, membuat saya yakin bahwa memang benar saya telah jatuh cinta.
Saya tak ingat bagaimana prosesnya, tetapi, kemudian, seingat saya, kami berkomitmen. Ia menyanyikan saya lagu-lagu, ia menyebut nama saya dengan kelembutan di antara teman-temannya, kami berdiskusi hal remeh temeh sampai perkara negara bersama, dan masih banyak hal yang membuat saya yakin dia juga mencintai saya sama besarnya.
Saya berusia 22 tahun saat anak laki-laki itu datang lagi dan menyatakan, "Kamu tidak cinta padaku. Kamu hanya cinta kepada caraku mencintaimu," sebelum membuang saya ke tempat saya yang sekarang. Nada suaranya masih terasa semanis marzipan, tetapi kalimatnya mengandung kepahitan.
Lazimnya saya akan meraung, menghamba, merasakan sakit hati saat ia melakukan itu, tetapi yang saya rasakan saat itu hanya seperti ditampar oleh sebuah kesadaran. Saya baru menyadari bahwa saya tidak pernah jatuh cinta kepadanya, saya hanya jatuh cinta pada sosok ideal yang mengapresiasi eksistensi saya, yang menyanyikan saya lagu-lagu cinta, yang memvalidasi bahwa saya berharga. Namun, ketika saya menemukan bahwa ia bukanlah sosok yang memenuhi ideal saya (seperti, katakanlah, ia tak bisa hidup tanpa kawan-kawannya, tak bisa hidup tanpa Rokoknya), saya tak bisa mentolerirnya. Saya terus bersamanya hanya karena menghormatinya sebab saya kira ia telah dengan sudi mencintai saya selama beberapa waktu terakhir usia remaja saya.
Dia membuat saya sadar bahwa saya memang tak pernah jatuh cinta pada siapapun. Saya hanya jatuh cinta pada konsep ideal yang saya ciptakan dalam kepala saya. Saya mengais, mengorek-orek pada setiap orang yang saya temui, berharap ialah yang menjadi sosok yang saya cintai. Namun, seperti yang bisa ditebak, saya tidak pernah bisa menemukannya.
Rasanya bagaimana? Sial. Saya tak bisa mendeskripsikannya. Perasaan ini seperti warna abu-abu yang tak bisa kemana-mana. Saya tak bersedih, saya juga tak bahagia atasnya.
Meskipun, jauh di dalam, saya ingin sekali merasakan jatuh cinta pada seseorang tanpa harus berpikir seberapa besar ia memenuhi ideal saya. Saya ingin jatuh cinta dengan bodoh; merasakan derap langkah kuda menggempuri dada, merasakan bagaimana idiom butterflies in stomach mengaduk-aduk lambung saat di dekatnya, tersipu malu saat mendengarkan namanya disebut. Merasakan desir di dada saat mendengarkan lagu-lagu romance. Kemudian saya akan menuliskan satu-dua bait tulisan atas dirinya. Tak luput untuk saling membagi keluh-kesah, mengetahui dirinya, permasalahannya, rasa sakit yang pernah ia derita.
Saya ingin melihat ke mata seseorang dan kemudian merasakan perasaan melayang. Untuk merasakan rumah saat bersamanya; untuk hidup, untuk menghidupi.
Ah, sial, cinta begitu indah.
Sekali lagi, sayang sekali saya tak memilikinya.
Komentar
Posting Komentar