TIDAK APA-APA UNTUK MENJADI BUKAN SIAPA-SIAPA

 Ah, sungguh quarter-life crisis ini benar-benar tidak enak. Sungguh dulu kukira hanyalah sebuah keluh kesah manusia remaja menuju dewasa yang terlalu meladeni tuntutan sosial. dulu juga kukira diriku mampu menutup telinga rapat-rapat, menatap lurus ke depan, tanpa menggubris komentar-komentar kanan-kiri yang tidak perlu. Tapi nyatanya setelah benar-benar nyemplung ke sosial, itu tidaklah mudah. 

Aku yang dulu penasaran bagaimana rasanya insomnia, kini sudah muak. Setiap malam datang, pikiran lagi dan lagi dipenuhi pertanyaan akan jadi apa aku nanti? akankah orangtuaku merasa bangga dengan apa yang kucapai? Persoalan akan berhasil atau gagal terus memecah pikiranku. Kerisauan yang sama datang dan datang lagi sampai membuat kepala pening, dan akhirnya tertidur. Sungguh ninabobo yang menyeramkan bukan? 

Sampai di malam penghujung tahun, malam yang lebih tenang dari malam-malam sebelumnya karena fisik dan pikiran tidak bekerja keras kali ini, menikmati hari libur pendek. Terbesitlah ide untuk membuka kembalu buku jurnal 2022 yang lama terbengkalai. terakhir kali kupakai bulan juni 2022. Membuka kembali lembar-lembar harapan, rencana, ucapan terimakasih, sampai pesan-pesan yang sempat kuabadikan di jurnal. Sampailah di halaman akhir, sebuah pesan dari guruku. Sedikit pesan yang tertulis seadanya tanpa hiasan, tulisannya pun tidak tersusun rapi seperti ditulis dengan tergesa-gesa. 

"Tetaplah hidup dengan menjadi orang baik. Dunia tidak butuh orang sukses yang tak berguna. Dunia butuh orang-orang yang hidupnya bermanfaat, entah bagi sesama, lingkungan, atau makhluk hidup di muka bumi. Allah tidak pernah menciptakan manusia sia-sia. Selalu ada peran baik yang bisa diambil sekalipun tak sesuai definisi sukses versi umum."

Seketika saya terdiam, memori saya yang punya storage kecil ini terlempar ke bulan-bulan saat masih menuntut ilmu di pondok pesantren. Reka ulang adegan kembali muncul di angan-angan. Saya membaca ulang satu paragraf itu, meresapinya, mendefinisikan lebih jauh. betul memang ujar beliau. Ketika seseorang meninggal dunia, orang-orang tidak mengingat berapa banyak harta yang berhasil ditimbunnya atau pangkat yang diembannya. Mereka hanya ingat bagaimana dahulu sikapnya di dunia. Apakah dia anak yang berbakti pada orang tua? Ayah yang penyayang pada anak-anaknya? Suami yang baik? Tetangga yang ramah? Saudara yang akur? Apakah dia gemar membantu? Apakah lisannya menyenangkan dan menenangkan? Apakah dia gigih dalam mengejar impiannya? Apakah dia pernah menyakiti hati mereka semasa hidup? Apakah dia pernah berlaku buruk dan curang? Apakah dia sombong dan kikir?

Hidup ini bukan hanya menyangkut "kita" dan kesuksesan yang semu itu. Tapi juga "peran terbaik" yang pernah kita mainkan di dunia. 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Ibu: Memahami Bagaimana Ibu Mengatakan Cinta

Unpopular Opinion: Betapa “1 Kakak 7 Ponakan” dan “Home Sweet Loan” Jadi Film yang Terlalu Kapital

Aku Adalah si Ikan Dory