Mekanisme Pertahanan Diri

 

Selamat pagi, kamu. Sudahkah bangun dan baca do'a bangun tidur seperti yang kamu ajarkan ke murid-muridmu? Sudahkah kamu tekuri warna krem dengan ornament abstrak merah karya keponakanmu di dinding kamar? Sudahkah kamu belai ilalang yang tumbuh di kasur yang kamu tiduri? Sudahkah kamu pindai wajahmu di telapak tanganmu? Belumkah? Tak bisa tampak semua itu? Tentu, aku pun yakin. Sebab saban hari kamu memilih bangun dengan segudang barang rongsokan di kepala.

Sebelum kamu pergi ke kamar mandi, kamu bercermin, dan menemukan satu lagi kerutan di dahi. Bibirmu juga kering, kau lupa pakai lipbalm. Biarlah, katamu. Biar sepadan dengan kisahmu yang kerontang. Semalam kamu bermimpi buruk. Ada om-om dengan kumis simetris memintamu jadi sugar baby-nya. Ia bersedia memenuhi seluruh kebutuhanmu asalkan kamu memenuhi seluruh keinginannya. Dan keinginannya hanya satu ini: setiap malam ketika kalian bersama, kamu harus membacakannya cerita-cerita detektif sampai ia benar-benar bisa menebak siapa pembunuhnya. Itu aneh sekali. Tapi karena itu mimpi, kamu tidak bisa protes sekalipun kamu memiliki alternatif alur cerita. Kamu bersedia jadi sugar baby-nya dan menjadi pendongeng. Ketika kamu akan menagih janjinya untuk membalas jasamu, kamu terbangun dengan mata membelalak. Sial! umpatmu. Seharusnya tadi kau minta… apa? Apa yang kamu inginkan? Baju branded? Skincare mahal? Gawai terbaru?

Tidak. Bukan itu yang kamu mau. Kamu tidak peduli apa merk tas, baju, bahkan kutangmu. Kamu tidak butuh validasi melalui apa yang melekat padamu. Puja-puji tidak bisa mengelabuhi kesepianmu. Kamu berpikir tentang itu sambil menyikat sisa suwir ayam goreng semalam di gusimu. Sambil terus bercermin, pagi buta itu, saking kesepiannya, kamu berharap ada penampakan hantu lewat di belakangmu. Kamu tertawa. Mana mungkin. Bahkan hantu tidak ingin bersama orang kesepian (mereka lebih menyukai orang yang ketakutan). Kamu bukan penakut. Orang mandiri sepertimu tidak takut pada apa pun, kecuali: kesepian.

Kesepian begitu berbahaya bagi usia mudamu. Kamu masih muda dan belum siap kalah, tapi kesepian mengambil satu langkah di depanmu. Kamu sebenarnya bisa meminimalisir itu. Enam hari dalam seminggu kamu menjalani rutinitas yang agaknya sama dari bangun tidur sampai tidur lagi. Jika kamu coba perhatikan satu saja orang asing yang kau jumpai setiap hari, tengoklah sebentar ke arah keningnya. Kamu mungkin akan menemukan keriput yang sama seperti yang keningmu miliki. Ibu-ibu paruh baya yang menjajakan sayur keliling dengan punggung yang bengkok ke depan. Betapa beban yang pernah dia pikul, sampai tulang punggung kehilangan bentuk idealnya. Meskipun begitu, usia dan kondisi fisik tak bisa merampas semangat darinya. Ada juga pasangan suami istri yang mengamen bersama. Sang suami menaiki kursi roda yang didorong istrinya, ditemani sound portable dipenuhi playlist lagu Rhoma Irama.  Usia senja tak membatasi kisah romansanya.

Jika kamu mau melakukan pengamatan itu, barangkali kamu akan lebih tidak mengasihani dirimu sendiri. Ada banyak hal-hal membahagiakan yang luput kamu sadari. Ada banyak kenikmatan Tuhan, yang luput kamu syukuri. Ada banyak keindahan semesta dan seisinya yang luput nikmati.  

Setidaknya kamu memegang kontrol penuh atas dirimu. Atas apa yang ada di pikiranmu. Atas apa yang kamu tuju. Atas apa yang kamu suka dan kamu mau. Atas apa-apa yang keluar dari mulutmu dan segala macam sikapmu. Selebihnya? itu bukan lagi ada di ranahmu. Tanggapan orang lain tentang dirimu, ucapan dan sikap mereka padamu. Itu bukan lagi ada di wilayah kekuasaanmu. Just let it be! Kamulah pilot dari perjalananmu. Berbekalkan ilmu yang menjadi navigasi kemana kamu menuju dan bagaimana kamu harus melaju. Ditemani beberapa co-pilot andalan. orang tua, guru serta sahabat-sahabatmu. Mereka yang membantu menerbangkan kapalmu. Jika kamu berada dalam situasi emergency, seperti terjadi gangguan mesin, cuaca buruk atau hal-hal out of control lain. Para co-pilot ini yang membantumu mengambil keputusan.  

Memang perjalananmu tak semulus maskapai lain. Service yang diberikan tak semewah maskapai sebelah. berkali-kali transit untuk sekedar mengistirahatkan mesin ataupun membawanya ke bengkel. Tidak apa-apa. Kamu paham akan kapasitasmu. Tidak perlu terburu-buru. Selama kamu yakin akan destinasimu.

Untuk ini semua, aku berikan lagi padamu puisi satu ini:

Mekanisme Pertahanan Diri

Tunggu dulu. Sebelum kau beranjak

dari kamar usangmu

kita taruh dulu rongsokan di kepala itu.

Kau hanya perlu meraba

keempat sisi dinding kamarmu.

Temukan jantungnya.

Mereka tidak butuh interior, sebenarnya.

Mereka hanya mau lihat jiwa mudamu

yang bebad dari teror.

Lagipula satu-satunya yang perlu

dilapisi cat anti bocor adalah

jam tidurmu yang keropos.

Lihat, di pintu itu tidak pernah ada yang pergi

sebab tiada satu pun sejak semula yang pernah pulang.

Kau satu-satunya pelancong yang bebas ongkos.

Masinisis bagi perjalananmu adalah cerita-cerita dulu.

Para penumpangnya nangkring di pundakmu.

Tapi kau terus saja begitu.

Terlihat baik-baik saja.

Tidak menangis, tapi terguncang.

Sehingga mereka tidak bisa lagi membedakan

mana wajahmu, mana sandiwaramu.

Padahal sebentar lagi kondektur akan mengitari kamarmu.

mencari tiket pertunjukanmu.

menandai episode manik yang pontang-panting di keningmu.

Perjalanan ini seperti penyair

yang kehabisan kata-kata.

Pura-pura memang wahana paling

mengasyikkan bagi superegomu.

Sedikit lagi.

setelah dering puisi ini mati,

percayalah

kau masih terlalu muda untuk menyerah.

(Malang, 2023)

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Ibu: Memahami Bagaimana Ibu Mengatakan Cinta

Unpopular Opinion: Betapa “1 Kakak 7 Ponakan” dan “Home Sweet Loan” Jadi Film yang Terlalu Kapital

Aku Adalah si Ikan Dory