Hidup Begitu Biasa Saja dan Hanya Itu yang Kita Punya

"Hidup Begitu  Indah Biasa Saja dan Hanya Itu yang Kita Punya"

Source: Mojok.co
Bermula dari mendefinisikan ulang presepsiku akan kematian, mengantarkanku keluar dari angan-angan utopis tentang kehidupan. Beringan hati dalam menerima kenyataan. Serta merengkuh setiap jengkal kesederhanaan.

Kematian adalah sebuah paradoks. Ia begitu jauh sekaligus begitu dekat. Ia terjadi setiap saat, namun tak seorang pun membicarakannya. Seakan-akan berkata yang terjadi biarlah terjadi. Takdir tidak ada yang mengetahui. Toh, itu juga bukan urusan kita. Takdir adalah urusan Tuhan.


Kelahiran dan kematian adalah takdir. Di tengah-tengahnya ada kehidupan. Tugas kita hanyalah mengisi "jalan tengah" itu. Sisanya bukan urusan kita. Hiduplah sepenuh-penuhnya hingga dadamu sesak dan perutmu mual karena menyadari hidup ini sesungguhnya tak seperti bayang-bayang utopismu.


Memercayai adanya takdir memberikan rasa lega. Kita tidak menjadi yang terbaik dalam hidup dan itu tidak apa-apa, karena ada faktor lain tak kasatmata yang berada di luar kekuasaan kita. Kita begitu lemah dan tak berdaya dan itu juga tidak apa-apa, karena yang sepenuhnya berdaya hanyalah Sang Pemilik Takdir. Kamu bisa selamanya hidup dalam kesadaran naif hingga kematian menjemputmu dan hal itu juga tidak apa-apa, karena hidup adalah pilihan. Sekali lagi, kawan, hidup hanyalah sekumpulan pilihan.


Seorang nihilist pernah berkata, "nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan, yang kedua adalah dilahirkan tapi mati muda". Pernyataan pertama tidak dapat dipertanggung-jawabkan, mengingat orang yang tidak pernah dilahirkan bahkan belum memiliki kesadaran untuk mengetahui bahwa ia sedang menjalani nasib terbaik. Sedangkan pernyataan kedua bersifat relatif. Beberapa orang mungkin setuju, beberapa yang lain tidak. Tidak ada pendapat yang lebih tinggi daripada yang lainnya. Tentu kita bisa menggugat pernyataan filsuf Yunani berinisial N tersebut. Lagipula ia juga manusia, sama seperti kita.


Sebenarnya mana yang lebih menyenangkan, mati di saat-saat terbaik dalam hidupmu, atau mati setelah melewati masa-masa tersebut? Singkatnya, jika bisa memilih, kamu akan memilih mati muda atau mati tua?


Tetapi kembali lagi ke pertanyaan dasar: menurutmu mana yang lebih berharga, hidup yang kamu jalani atau kenangan yang kamu tinggalkan?


Sekali lagi, tidak ada pilihan yang lebih baik daripada yang lainnya. Kamu bahkan boleh memilih keduanya. Mau bagaimanapun, hidup ya begini-begini saja. Segala sesuatu bergulir dan tak seorangpun dapat menangkap semua itu. Seperti itulah kita menjalani hidup. Yang terbaik yang bisa kita lakukan hanyalah hidup sepenuh-penuhnya dan mencintai setiap bagiannya. Hiduplah selama mungkin. Rengkuh segala kesederhanaan hingga ke bagian terkecilnya. Letakkan sikap skeptis dan ragu-ragu pada tempatnya. Karena hanya dengan cara itulah, kamu bisa hidup dengan waras dan bahagia. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Ibu: Memahami Bagaimana Ibu Mengatakan Cinta

Unpopular Opinion: Betapa “1 Kakak 7 Ponakan” dan “Home Sweet Loan” Jadi Film yang Terlalu Kapital

Aku Adalah si Ikan Dory